|
Rumah Adat Aceh. |
Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan
Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat,
Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti
Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.
Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya.
Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan.
Kasus lain pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Jika kita lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada penjara dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun sering kita dengar. Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang melintas di jalan depan Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah penegak hukum atau kerabatnya,
orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.
Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan
orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
Menilik hukum yang diselenggarkan oleh aparatur hukum negara
|
Rumah Adat Simalungun |
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar
Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang
[1]:
- Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
- Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas,
Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah
Aceh,
Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran
danau Toba dan
Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa
Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi
Gayo dan
Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di
Riau.
Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
|
Rumah Adat Batak |
Orang Batak termasuk ras
Mongoloid Selatan yang berbahasa
Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari
Taiwan telah berpindah ke wilayah
Filipina dan
Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (
Neolitikum).
[2]Karena hingga sekarang belum ada artefak
Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang
Tamil asal
India mendirikan kota dagang
Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh
Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera
[3]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh
pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus,
Sorkam, hingga
Natal[4].
[sunting]Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.
[5] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.
[6] Dalam disertasinya
J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya,
Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik
Karo maupun
Simalungunmengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa
Pusuk Bukit, salah satu puncak di barat
Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari
Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh
J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu
Pustaka Kembaren dan
Pustaka Ginting. Menurut
Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari
Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari
Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
[7][sunting]Penyebaran agama
Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.
[sunting]Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292,
Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun
Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan
Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.
[8] Pada masa
Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama
Kristen Protestan.
[9] Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur
[sunting]Misionaris Kristen
Pada tahun 1850,
Dewan Injil Belanda menugaskan
Herman Neubronner van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
[12].
Misionaris pertama asal
Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr.
Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh
P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di
Medan pada tahun 1893. Menurut
H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
[13]Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya
[14]. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme
Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka,
Sisingamangaraja XII wafat.
[15]Gereja
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di
Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
[16]
|
Rumah Adat Riau |
|
Rumah Adat Kampar
Asal Usul Orang Kampar RiauKampar adalah sebuah kabupaten di Riau dengan mayoritas penduduknya orang Kampar ( Ughang Ocu). Sebelumnya, Kampar (lebih spesifiknya XIII Koto Kampar) i diduga dihuni oleh masyarakat Kerajaan Sriwijaya sebelum akhirnya mereka pindah ke Palembang sekitar abad 13 M. Salah satu peninggalannya bisa dilihat dari Candi Muara Takus. Terus, darimanakah masyarakat Kampar berasal??banyak versi tentang asal usul masyarakat Kampar, Sebagian besarnya berpendapat bahwa masyarakat Kampar berasal dari daerah Luhak Lima Puluh Kota di Sumatera Barat. Mungkin anda punya pendapat yang berbeda... silahkan anda |
|
Rumah Adat Minangkabau. |
EMPAT JENIS ADAT DI MINANGKABAU
Adat Minang mencakup suatu spektrum dari yang paling umum hingga yang paling khusus, dari yang paling permanen dan tetap hingga yang paling mercurial dan sering berubah-ubah, bahkan ad-hoc. Di sini adat Minang disebut Adat nan Ampek.
1).
Adat nan Sabana Adat, adat yang paling stabil dan umum, dan sebenarnya berlaku bukan hanya di Minangkabau saja, melainkan di seluruh alam semesta ini. Disepakati bahwa adat yang sebenarnya adat adalah Hukum Alam atau Sunnatullah, dan Hukum Allah yang tertuang di dalam ajaran Islam. Dengan mengambil
Alam takambang menjadi guru adat Minang dapat menjamin kompatibilitasnya untuk segala zaman dan dengan demikian menjaga kelangsungannya di hadapan budaya asing yang melanda. Masuknya agama
Islam ke Minangkabau, juga telah melengkapi Adat Minang itu menjadi kesatuan yang mencakup unsur duniawi dan unsur
transedental.
2)adat nan teradat
3) Adat nan Diadatkan. Adat Minang menjadi adat Minang adalah karena suatu identitas dengan kesatuan etnis dan wilayah : adat Minang adalah adat yang diadatkan oleh Orang Minang, di Minangkabau. Jadi adat Minang itu sama di seluruh Minangkabau, dan setiap orang Minang be dan leluasa membuat penyesuaian-penyesuaian, maka adat itu akan bertahan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan sense of order. Tidak ada unsur paksaan yang akan terasa jika adat itu monolitik dan seragam di seluruh wilayah.
4). Adat Istiadat. Ialah adat yang terjadi dengan sendirinya karena interaksi antar anggota masyarakat dan antar anggota masyarakat dengan dunia luar. Dinamakan juga adat sepanjang jalan yang datang dan pergi, dan ditolerir selama tidak melanggar adat yang tiga di atas. Pengakuan akan adanya adat-sitiadat ini menjadikan adat Minang lebih komplit dan memberi ruang bagi anggota masyarakat untuk bereksperimen dengan hal-hal baru dan memperkaya budayanya.
Empat macam adat diatas adalah adat Minang semuanya dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Keempatnya tidak dapat dipisahkan, dan tidak dapat dikatakan adat Minang kalau kurang salah satu: Bukanlah adat Minang jika hanya terfokus pada adat istiadat akan tetapi melawan Hukum Alam. Dan buknlah pula adat Minang jika hanya berbicara tentang pengangkatan Penghulu, tetapi tidak memberi ruang untuk berlakunya adat istiadat yang dipakai oleh orang kebanyakan.
== Implementasi Adat Minangkabau == Dikatakan dalam
pepatah adat:
Partamo sambah manyambah, kaduo siriah jo pinang, katigo baso jo basi. Banamo adat sopan santun. Rangkaian kata-kata pusako ini menyatakan bahwa adat
Minangkabau secara sederhana dapat disimpulkan perwujudannya menjadi tiga hal:
Adat
Minang sarat dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara puncaknya tidak sah, tidak
valid, jika belum disampaikan dengan bahasa formal yang disebut
pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti
mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang sakral dan diagungkan sebagai acara kebesaran adat, seperti "
Batagak Gala", yaitu pengangkatan seseorang menjadi
Pangulu, selalu dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sambah-manyambah di sini tidak ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud adalahpasambahan kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa Minang tertentu, yang mempunyai format baku.
Format bahasa
pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau.
Dalam pelaksanaan pasambahan, dalam adat Minang digariskan penentuan peran masing-masing pihak dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalnya sebagai tuan rumah yang disebut "si Pangka", sebagai tamu yang disebut "si Alek", sebagai pemohon (yang mengajukan maksud dan tujuan perayaan}, atau sebagai yang menerima permohonan (pihak kebesaran adat yang memiliki kewenangan dalam legalitas perayaan alek/perhelatan).
2). Sirih dan pinang
Sirih dan pinang adalah lambang fromalitas dalam interaksi komunikasi adat masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkepannya seperti buah pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.
Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah adat disebutkan,
siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan
pasambahankato.
Sirih dan pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai. Karena itu, helat perkawinan termasuk dalam bab ini.
3). Baso-basi
Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus (interaksi sosial. Sebagai orang Minang tidak boleh individualistis dalam kehidupannya.
Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi berfungsi menjaga
forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap anggota masyarakat
nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di
nagari itu.
|
Rumah Adat Sumatra Utara. |
Wilayah kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah
Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.
[1][sunting]Pendirian kerajaan Deli
Menurut riwayat, seorang
Laksamana dari
Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk
Melayu (sudah masuk Islam). Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Batak Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di
Deli pada tahun
1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.
[1][sunting]Kemelut di tubuh kerajaan Deli
Dalam perkembangannya, pada tahun
1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah
Serdang.
[1]Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun
1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari
Kerajaan Deli.
[1][sunting]Periode pemerintahan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari
1723 hingga
1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja
Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan
Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja
Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja
Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kerajaan
Perbaungandigabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.
[1]Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.
[1][sunting]Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.
[1][sunting]Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh
Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan
Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun
1946, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[1][sunting]Struktur pemerintahan
Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:
[1]- Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
- Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
- Sebagai Kepala Adat Melayu.
[sunting]Lembaga Orang Besar Berempat
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
[1]- Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
- Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
- Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
- Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.
[1][sunting]Jabatan lainnya
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “
Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.
[1]
|
Rumah Adat Jambi. |
Anjungan Jambi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anjungan Jambi jika dilihat dari atas
Anjungan Provinsi Jambi merupakan salah satu
Anjungan Daerah di
Taman Mini Indonesia Indah. Anjungan ini menyajikan rumah adat Melayu, rumah betiang atau rumah sepucuk jambi sembin lurah, yang mulai dibangun April 1974 dan diresmikan setahun kemudian. Pada tahun 1979 dibangun sebuah panggung berbentuk perahu angsa, perahu tradisional daerah Jambi, dinamakan kajang lako. Di belakang rumah betiang terdapat bangunan berupa lumbung (blubur), yakni tempat penyimpanan hasil pertanian beserta peralatannya, sedangkan di sampingnya berdiri bangunan balai digunakan untuk kantor pengelola anjungan dan ruang pameran berbagai jenis hasil alam, industri, serta kerajinan kayu dari 10 kabupaten/kota.
Rumah betiang terbuat dari kayu besi (bulian) sesuai dengan daerah asalnya. Tangga masuk terletak di bagian depan, belakang, atau samping. Sesudah anak tangga paling atas terdapat bagian yang diperlebar, disebut jogan, tempat meletakkan sepatu atau sandal.
Rumah ini memiliki tiga ruangan utama, yakni serambi terbuka (pelancaan), serambi dalam (serambi gedang), dan ruang induk. Masing-masing ruangan memiliki fungsi, mulai dari tempat kegiatan kaum laki-laki, tempat tidur keluarga, sampai pada ruang musyawarah pemuka adat (tuo-tuo tengganai).
Hiasan rumah berupa ukiran motif flora—seperti dedaunan, bebungaan, dan sulur-suluran dengan pola antara lain tampuk/bunga manggis, kembang cengkih, bunga matahari, kuncup teratai, relung kangkung, dan bunga jeruk purut. Selain untuk memperindah, secara umum ukiran melambangkan kesuburan, kedamaian, dan kehidupan. Pola ukiran lain, misalnya kayu arorebah, belang mato ayam gelang sempuru, dan gelang kepalo naga, seringkali juga digunakan.
Rumah betiang di Anjungan Jambi digunakan untuk memeragakan berbagai aspek budaya, adat istiadat, dan seni tradisi, seperti pakaian adat, tari sekapur sirih, dan tari rangguk. Ruangan induk dipergunakan sebagai ruang pamer pakaian adat para pemuka adat dari setiap kabupaten; pelaminan bangsawan (putri ratno), aslinya tujuh tingkat tetapi yang terdapat di anjungan hanya tiga tingkat; dan pelaminan masyarakat biasa (amben melintang). Salah satu keistimewaan amben melintang yang terdapat di anjungan adalah warna aslinya tidak memudar meski usianya telah mencapai lebih dari 100 tahun. Di sudut ruangan lain diperagakan juga benda kerajinan dan peralatan tradisional, serta boneka yang menggambarkan orang sedang menenun.
Kolong rumah digunakan untuk latihan sanggar tari ‘Selaras Pinang Masak’ dan resepsi untuk umum. Untuk menggambarkan lingkungan alam daerah Jambi, di sekitaran halaman anjungan diletakkan patung-patung satwa liar, seperti gajah, harimau, dan beruang lengkap dengan kolam sungai yang menggambarkan Sungai Batanghari.
Panggung pertunjukan berbentuk perahu angsa, digunakan untuk pergelaran berbagai kesenian tradisional, seperti tari rangguk, tari selampit, tari kelik elang, dan tari nelayan, terutama pada hari Minggu dan hari libur. Adat istiadat yang masih hidup di dalam masyarakat Jambi, seperti upacara adat daur hidup manusia, seringkali dipentaskan melalui kegiatan Paket Acara Khusus. Biasanya, kegiatan itu menampilkan juga peragaan busana, lagu daerah, dan pameran makanan tradisional khas daerah Jambi.
|
Rumah Adat Bengkulu. |
|
Rumah Adat Palembang |
|
Rumah Adat Lampung |
|
Rumah Adat Nias.
|
|
Rumah Adat Simosir. Toba |
|
Rumah Adat Mandaihiling.
|